Kontroversi Kewajiban PBG di Kawasan Ekonomi Khusus
Oleh: Ria Casmi Arrsa Ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Perkembangan regulasi bangunan Gedung pasca penetapan UU Cipta Kerja mengimplikasikan adanya perubahan konstruksi hukum dari awalnya dikenal rezim Izin Bangunan Gedung (atau dikenal dengan IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (atau dikenal dengan PBG). Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 19 UU No 6 Tahun 2023 mendefinisikan bahwa Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada Pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung. Pada rumusan tersebut dapat dimaknai bahwa terhadap aktivitas pembangunan gedung mensyaratkan untuk memperoleh PBG sebelum aktivitas konstruksi dilaksankan. Hal ini diperlukan untuk menjamin kepastian hukum terhadap jaminan keamanan, kenyamanan, keandalan dan kelayakan fungsi bangunan Gedung bagi aktivitas dan mobilitas manusia yang menggunakan Bangunan tersebut. Acapkali kita menemui adanya fakta terhadap keberadaan aktivitas Pembangunan Gedung yang seringkali mengabaikan prinsip-prinsip tata bangunan baik dari sisi kualitas konstruksi, mitigasi bencana, sistem pemadam kebakaran, sistem kelistrikan yang pada akhirnya justeru mengancam keselamatan manusia.
Beranjak dari uraian diatas, disatu sisi pengaturan mengenai PBG memberikan ruang pengendalian dan/atau kontrol yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Namun demikian seringkali pelaksanaan fungsi pengendalian tersebut dihadapkan pada aspek kemudahan berusaha atau investasi yang acapkali Pemerintah/Pemerintah Daerah membuat aturan pengecualian yang tidak konsisten dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagaimana kita pahami bahwa proses pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Selanjutnya pelaksanaan pembangunan bangunan gedung dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung.
PBG diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Pemerintah telah membentuk dan menetapkan Sistem Informasi dan Manajemen Bangunan Gedung atau disebut dengan SIMBG. Sehingga terhadap obyek perolehan PBG diperuntukkan bagi semua fungsi bangunan baik hunian, keagamaan, sosial, usaha dan khusus. Namun demikian terhadap aktivitas Pembangunan bangunan Gedung di Kawasan Ekonomi Khusus justeru di kecualiakan dari persyaratan untuk mendapatkan PBG dengan dasar argumentasi untuk menjamin kondusifitas iklim usaha dan investasi. Tentu pernyataan ini merupakan kebijakan dan/atau Tindakan Pemerintah yang justeru tidak sejalan dengan maksud dan tujuan dari pengaturan mengenai bangunan gedung. Meskipun keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus atau disebut dengan KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Maka terhadap keberadaan KEK tersebut termasuk aktivitas Pembangunan Gedung di Kawasan tersebut tunduk pada ketentuan PBG yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Meskipun secara policy Pemerintah menetapkan tindakan pengecualian perolehan PBG di KEK berdasarkan Pasal 151 PP 40 Tahun 2021 yang berbunyi “Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha tidak memerlukan Persetujuan Bangunan Gedung sepanjang Badan Usaha telah menetapkan pedoman bangunan atau estate regulation”.
Keberadaan pedoman bangunan (estate regulation) tentu tidak bisa dipersamakan dengan PBG karena kedua instrument tersebut berbeda secara prosedur dan material. Secara prosedural kebijkan dan/atau tindakan pengecualian terhadap peroleh PBG merupakan tindakan penyimpangan yang berimplikasi pada keadaan cacat hukum (juridische gebreken) terhadap proses perolehannya. Sedangkan secara materiil pedoman bangunan (estate regulation) inkonsisten dengan materi muatan norma dan standart PBG yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan harmonisasi hukum dan prinsip preferensi lex superior derogate legi inferior pengecualian tersebut bertentangan dengan UU bangunan Gedung sebagai instrumen pengendalian dan kontrol Pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam konteks penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia.