Berita

Melawan Lupa : Agenda HAM dalam Pemilu 2014

Melawan Lupa

Malang, Bertempat di Ruang Auditorium Lantai VI Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (22 April 2014) Imparsial salah satu LSM Nasional yang fokus pada kerja-kerja advokasi monitoring Pelanggaran Hak Asasi Manusia menggandeng PPOTODA untuk menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tajuk

Melawan Lupa: Agenda HAM dalam Pemilu 2014 serta Launching hasil penelitian terhadap peran dan fungsi KOMNAS HAM di era Reformasi.

Dalam sambutan pembukaan Ngesti D. Prasetyo mengutarakan bahwa kerjasama ini merupakan tonggak sejarah bagi kerja-kerja advokasi terhadap isu-isu HAM yang tak kunjung tuntas karena praktek impunitas yang menyeruak dengan melibatkan sejumlah tokoh politik dan militer. Lebih lanjut Ngesti memaparkan pula bahwa kegiatan ini diselenggarakan dengan latar belakang bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi manusia merupakan syarat fundamental dari berjalannya negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia.

Hal itu merupakan prinisp penting yang mendasari bahwa setiap pelaksanaan kekuasaan negara harus menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pijakannya demi terpenuhinya martabat manusia setiap warga negaranya. Di tengah akan dihelatnya politik pemilu 2014, pertanyaan mengenai masa depan penegakan hak asasi manusia ini tentunya menjadi penting. Dengan kata lain, sejauhmana pemerintahan hasil Pemilu ini bisa mendorong perubahan dan perbaikan kondisi hak asasi manusai di Indonesia. Pasalnya, persoalan hak asasi manusai yang dihadapi oleh Indonesia di dalam negeri semakin berat dan massif dari tahun ke tahun.

Persoalan lama tidak kunjung selesai dan tuntas, sementara kasus-kasus baru malah bermunculan. Tidak hanya kaitannya dengan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, tetapi juga yang kini krusial di bidang ekonomi sosial dan budaya. Dalam kaitannya dengan masa lalu, publik tentunya sudah tahu bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga kini tidak kunjung jelas.

Mulai dari kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Talangsari, kasus penculikan aktivis, penculikan Wiji Tukul, Pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir dan lain sebagainya. Padahal korban atau keluarga korban masih terus menunggu proses penyelesaiannya. Di tengah situasi yang tidak menentu ini, penantian mereka akan keadilan masa lalu seakan berada dalam kondisi tak berujung.

Di lain pihak, tren politik ekonomi memunculkan berbagai kasus baru. Kekerasan terhadap masyarakat sipil yang melibatkan aparat keamanan, baik polisi maupun TNI, tidak juga menyusut. Apalagi kasus-kasus yang terjadi dalam konteks konflik sumber daya alam di daerah yang memperhadapkan masyarakat dengan perusahaan. Konflik agraria dan penguasaan lahan, khususnya oleh korporasi, banyak tidak terselesaikan. Kalangan buruh kini tidak hanya menghadapi pemilik modal, tapi juga preman yang di sewa dan aparat yang berpihak.

Pemasungan terhadap kebebasan melalui regulasi juga pelan-pelan muncul kembali. Berbagai persoalan itu tentunya menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah untuk segera menuntaskannya. Tak terkecuali juga bagi pemerintahan baru yang terpilih melalui pemilu yang sebentar lagi akan dijalankan. Tantangan yang mereka hadapi adalah bagaimana mewujudkan proses penyelesaian berbagai kasus itu yang memihak pada korban tersebut. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang terjadi selama ini lebih banyak memihak pada pelaku.

Dalam konteks hak asasi manusia, persoalan perlindungan dan penegakan hak asasi ini tentunya menjadi kewajiban negara. Negara yang menanggung mandat untuk menjalankannya. Dengan kuasa yang digenggamnya, seharusnya negara melalui seluruh aparatusnya berupaya memastikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia berjalan baik dan efektif. Korban tidak dibuat terkatung-katung tanpa kepastian akan keadilan bagi mereka dan keluarganya.

Di lain pihak, sebagai bagian dari lembaga negara, posisi Komnas HAM juga tentunya menjadi penting untuk memastikan negara menjalankan fungsinya dengan baik. Apalagi Komnas HAM sejak 1998 telah mengalami penguatan dibandingkan ketika pertama kali dibentuk di masa orde baru. Harapan public terhadap lembaga ini sesungguhnya sangat besar.

Komnas HAM diharapkan bisa berperan lebih maksimal untuk mendorong penyesalaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang diadukan dan memastikan korban mendapat keadilan. Kenyataannya, meski Komnas HAM telah hadir di Indonesia kurang lebih 18 tahun sejak pertama dibentuk pada 1993, peran-perannya selama ini belum maksimal dan efektif. Bagi Korban, Komnas dipandang seperti “macan ompong”.

Meski perubahan pasca 1998 telah meletakan Komnas HAM memiliki posisi dan kewenangan lebih kuat, tetapi dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM seperti tidak bergigi. Sebagai contoh bisa dilihat dari penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang semua rekomendasi Komnas HAM sama sekali tidak dijalankan oleh Kejaksaan Agung.

Alhasil, berbagai kasus tersebut kini tidak jelas. Hasil diskusi ini akan menjadi point penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan arti penting penuntasan isu-isu dan/atau kasus HAM masa lalu maupun serangkain pelanggaran HAM di masa sekarang yang berujung pada tindakan impunitas.

Dalam forum inipun para audiens sepakat untuk menagih janji Presiden SBY agar menuntaskan pelanggaran HAM agar tercipta peradaban masyarakat yang menegakkan hukum dan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button