Berita

Perlindungan Hak Konstitusional Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan

Perlindungan Hak Konstitusional Kemerdekaan Beragama

Jakarta, Bertempat di Hotel Royal Kuningan Koordinator Bidang Riset dan Kebijakan Publik PPOTODA Universitas Brawijaya menjadi salah satu pembicara (pemakalah) pada acara Konferensi Nasional dengan Tema,“Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara”.

Acara yang terselanggara pada tanggal 17-20 November 2013 tersebut di pelopori oleh SETARA Institute, Constitutional Democracy Forum (CDF) Indonesia dan dukung oleh German Emabassy Jakarta. Dalam paparannya Hendardi selaku Ketua Setara Institute menyampaikan acara ini terselenggara untuk memberikan rekomendasi atas gejolak yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dan melakukan evaluasi terhadap kinerja kelembagaan Mahkamah Konstitusi.

Demikian halnya di sampaikan oleh Dr. Georg Witschel selaku Extraordinary and Plenipotentiary Ambassador of The Federal Republic of Germany to Indonesia, Timor Leste and ASEAN) dalam pidato sambutannya menyampaikan keprihatinan terhadap prahara yang terjadi di Mahkamah Konstitusi mengingat sejak berdirinya MK Indonesia telah banyak diskusi dan sharing pengalaman yang dilakukan dengan MK di Jerman. Acara tersebut juga menghadirkan Drs. Sidarto Danusubroto S.H selaku Ketua MPR RI, Prof. Dr. Saldi Isra, Dr.Simor Butt (Sydney University), dan Dr. Benny K. Harman S.H (Ketua Komisi VI DPR RI).

Dalam paparannya melalui sesi panel diskusi peneliti PPOTODA menyampaikan gagasan terkait dengan peluang penerapan Constitutional Complaint dalam Menjamin Kemerdekaan Hak Beragama dan Berkeyakinan. Amanat UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan bagi warga negaranya untuk menjalankan agama dan kepercayaan.

Dalam hal itu maka konstitusionalitas hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan bentuk hak fundamen yang memilik karakteristik transendental yang tidak boleh diganggu gugat.

Potret buram kekerasan dan konfilk sosial bermotif agama, diskriminasi pendirian rumah ibadah, tindak pidana pembunuhan terhadap tokoh agama, intoleransi dalam beragama, serta serangkaian tindakan anarkis yang berlatar belakang keagamaan dan kepercayaan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia merupakan bentuk incompatibilitas paradoks cita kebhinekaan yang mengancam harmoni kerukunan dan integrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Atas dasar itulah maka pengujian kongkrit terhadap sejumlah kasus pelanggaran yang menimbulkan kerugian atas hak konstitusional warga negara mutlak diperlukan agar konstitusi tidak sekedar menjadi teks mati dan oleh karenanya konstitusi akan dapat menampakkan postur konstitusi yang hidup (living constitution) dalam praktek dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Banyak gagasan yang terlahir dari kegiatan dimaksud termasuk didalamnya kritik terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap partikular dan tidak menampakkan postur konstruksi hukum metode tafsir atas konstitusi, termaus didalamnya kritik terhadap mekanisme pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi yang dalam forum berkembang sedemikian kontroversial bahwa MK telah mengebiri Putusannnya sendiri perihal pengawasan oleh Komisi Yudisial.

Acara yang dihelat selama 3 hari ini dihadiri dari unsur Peneliti dalam dan luar negeri, Akademisi, Aktivis HAM, Praktisi Hukum, Perwakilan Kedutaan Jerman, Australia, Turki, dan Austria, Media, dan berbagai unsur lainnya yang interest terhadap isu-isu dan perkembangan konstitusi di Indonesia. Adapun rekomendasi yang dirumuskan dalam Konferensi ini dapat di download pada link dibawah ini.

Hasil Konferensi Nasional Mahkamah Konstitusi RI Setara Institute 18 – 19 Nov 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button