Pelayanan Perizinan Tempat Ibadah Masuk Rezim HAM
Kecenderungan dunia dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publik, mengalami pergeseran paradigma bernegara yang digunakan yaitu dari state oriented menuju civilize and state oriented.
Upaya-upaya yang dilakukan seperti reinventing, reengineering, horizontal administration, responsive government dan semuanya dilakukan agar pemerintahan dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien.
Pelayanan publik merupakan salah satu fungsi utama pemerintahan yang bertujuan untuk memenuhi hak warga negara, menjaga ketertiban umum, dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Layanan publik menjadi hak setiap warga negara tanpa membedakan suku, ras, agama, keyakinan politik, bahkan tingkat kesejahteraan. Hal itu sesuai dengan prinsip anti diskriminasi sebagai bagian dari HAM internasional serta telah diadopsi dalam UUD NRI 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Lebih lanjut ketentuan mengenai prinsip non-diskriminasi dalam pelayanan publik juga diitegaskan dalam UU No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965), UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mana Salah satu asas pelayanan publik dalam UU dimaksud adalah persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif.
Beranjak dari uraian diatas aspek pelayanan publik merupakan suatu prioritas penting di berbagai negara dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang memiliki cita negara kesejahteraan (welfare state).
Salah satu isu hukum (legal issue) terkait dengan aspek hukum pelayanan publik adalah dalam ruang lingkup pelayanan perizinan pendirian rumah ibadat. Pembangunan bidang kerukunan umat beragama di Indonesia mengalami kemajuan pesat ditengah kondisi kemajemukan bangsa.
Banyak kemajuan akan potret toleransi antar umat beragama yang dilandasi oleh semangat solidaritas. Namun demikian, dalam realitas sosial tidak bisa dinafikkan bahwa serangkaian tindakan intoleransi yang bermotif keagamaan akan senantiasa mengancam kebhinekaan bangsa Indonesia.
Salah satu bentuk tindakan intoleran sebagaimana dimaksud nampak pada serangkaian kasus dibidang pelayanan perizinan pendirian rumah ibadah yang justru dalam kenyataannya berpotensi bahkan menimbulkan konflik sosial di masyarakat sebagaimana kasus yang di advokasi dan di teliti oleh tim peniliti PPOTODA-TIFA di Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan serangkain problematika dalam lingkup pendirian rumah ibadah sebagaimana di paparkan diatas tim Peneliti dan Advokasi PP OTODA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya berkomitmen untuk mendampingi baik secara litigasi maupun non litigasi korban tindakan intoleran dalam menjalankan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya dalam pendirian rumah ibadah.
Demikian pula pendampingan dalam lingkup Tri Dharma Perguruan Tinggi akan dilakukan pada Pemerintah Daerah dan FKUB agar memiliki kesepahaman terhadap pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan No 9 Tahun 2006 agar tidak menimbulkan penafsiran berbeda sehingga berpotensi terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Untuk itu hasil dari penelitian ini dirumuskan dalam suatu Policy Brief dengan sasaran Kementerian Dalam Negeri, Ombudsman RI, Komnas HAM RI, Kepolisian RI, Kejaksaan RI.
Adapun hasil dari disampaikannya policy brief dimaksud antara lain:
1. Kepolisian Republik Indonesia
Polisi berkomitmen untuk mencegah tindakan main hakim sendiri (merobohkan rumah ibadat tanpa ijin), masyarakat harus menyerahkan itu pada mekanisme hukum yang berlaku.
Untuk rumah ibadat yang punya ijin, tapi ditolak masyarakat, Polisi akan melindungi rumah ibadat tersebut.
Polisi siap untuk menerima aduan dan menindaklanjuti temuan-temuan tim peneliti dan advokasi PP OTODA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ika ada unsur ancaman, akasi massa ataupun tindak kriminal yang merugikan masyarakat dalam pendirian rumah ibadat.
2. Kejaksaan Agung Republik Indonesia
a. Kejaksaan diharapkan untuk memberikanpengakuan terhadap aliran-aliran yang berkembang sebagai bagian dari hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
b. Menghilangkan penafsiran mayoritas/lembaga agama yang ditunjuk dalam menilai aliran yang berkembang, karena setiap agama memiliki karakteristik ekspansif.
c. Hasil : diterima dan akan dikaji
3. Ombudsman RepubIik Indonesia
a. Akan menindaklanjuti kasus-kasus pelayanan perijinan pendirian rumah ibadat yang mengandung unsur maladministrasi.
b. Membantu memberikan kepastian hukum bagi korban pendirian rumah ibadat.
c. Berkomitmen untuk melakukan tindakan atas inisiatif sendiri serta menerima aduan masyarakat dan tim advokasi PP OTODA jika terdapat praktek-praktek diskriminasi dalam pelayanan publik pendirian rumah ibadah.
d. HASIL: Kasus Philadelphia akan ditindaklanjuti karena belum ada rekomendasi ORI, akan dikonfirmasi juga ke Ombudsman daerah apakah ada indikasi maladministrasi kasus di Bali, NTT , Jawa Barat, serta Jawa Timur.
4. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
a. Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 Dan Nomor : 8 Tahun 2006 secara hirarkhis bertentangan dengan hak kebebasan beragama sehingga pemerintah sebagai eksekutif harus melakukan eksekutif review terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 Dan Nomor : 8 Tahun 2006
b. Dalam menjalankan pembatasan dalam UUDNRI Pasal 28 J ayat (2) berbunyi dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Jadi bukan bentuk Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 Dan Nomor : 8 Tahun 2006 melainkan bentuk undang-undang. Oleh karena itu dalam jangka panjang hasrus segera dirumuskan ketentuan sebagaimana dimaksud.
c. Belum ada persamaan persepsi tentang PBM, butuh advokasi lebih lanjut.
d. Bahwa untuk jangka pendek dibutuhkan adanya sosialisasi massif agar penafsiran terhadap PBM tidak multi tafsir di daerah.
5. Komnas HAM Republik Indonesia
a. Pelayanan publik merupakan bagian dari rezim ham, sehingga Komnas HAM berkewajiban melindungi korban dan memperjuangkan hak korban.
b. Membuat pemahaman HAM pada pemerintah dan pemerintahan daerah terkait pelayanan public.
c. Membuat kajian mendalam tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada perijinan. pendirian rumah ibadat untuk melihat apakah termasuk pro justisia atau tidak.
Hasil KomnasHAM menyambut baik, dan bersedia berjejaring jika ada korban yang membutuhkan dampingan KOMNASHAM.