Berita

Sengkarut Sistem Perwakilan di Indonesia

 

Malang, Bertempat di Ruang pertemuan Cempaka Hotel Savana PPOTODA Universitas Brawijaya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema, “Format Ideal Sistem Perwakilan Indonesia”. Dalam paparannya sebagai keynote speech Dr. Ja’far Hafsah sebagai ketua tim kajian ketatanegaraan MPR RI menegaskan bahwa, Perubahan terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) telah memberikan konsekuensi pada lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Sebelum adanya perubahan, lembaga perwakilan rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan setelah perubahan menjadi tiga lembaga; yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

MPR dianggap sebagai lembaga perwakilan rakyat yang keanggotaannya dipilih melalui Pemilihan Umum, terdiri dari DPR yang mencerminkan prinsip demokrasi politik dan DPD yang mencerminkan prinsip keterwakilan daerah. Disamping itu baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun DPRD Kabupaten dan Kota. Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedudukan MPR adalah sebagai lembaga tertinggi negara dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Perwakilan dalam MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu perwakilan politik (political representation), yaitu para anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum, perwakilan fungsional (functional representation), yang terdiri dari para utusan golongan dan perwakilan kedaerahan (regional representation) yaitu para utusan daerah. Atas dasar hal itulah, MPR diartikulasikan sebagai representasi dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Perubahan tidak hanya terjadi pada jumlah lembaga perwakilan rakyat akan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu perubahan pada susunan dan kedudukannya, kewenangannya serta mekanisme pengisian jabatannya. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang lainnya dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maupun bagi perkembangan negara demokrasi modern. Berubahnya format sistem perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tentunya dapat dicermati dari adanya perubahan mendasar dalam lembaga perwakilan yang meliputi : struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, fungsi dan kewenangan serta pengisian anggota lembaga perwakilan. Dalam hal ini, MPR memiliki fungsi yang sama sekali berbeda dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD sendiri memiliki fungsi yang hampir sama.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) terbentuk atas dasar adanya keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa yang lalu dinilai banyak mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, sehingga dapat membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional.

Terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) juga merubah sistem unikameral yang selama ini diterapkan di Indonesia menjadi sistem bikameral. Sistem bikameral dinilai dapat memaksimalkan keterwakilan (representation) dan menciptakan checks and balances di internal parlemen.

Selain itu, bikameral dimaksudkan agar proses legislasi memungkinkan pembahasan yang berlapis (redundancy). Ketiga tujuan itu penting karena proses legislasi di parlemen menyangkut urusan negara dengan ratusan juta penduduknya. Namun dalam praktiknya, penerapan sistem bikameral masih banyak menimbulkan pro dan kontra. Tidak hanya terkait dengan fungsi dan wewenang antar-kamar (DPR dan DPD) dalam tataran legislasi yang dinilai masih belum seimbang, namun juga masih banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan penerapan model bikameral sebagai formal ideal dalam sistem perwakilan di Indonesia.

Atas dasar hal tersebut, Pimpinan MPR telah membentuk alat kelengkapan pimpinan melalui pembentukan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Keputusan Pimpinan MPR RI Nomor 5/Pimp./2012 tentang Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia MPR Masa Keanggotaan Tahun 2012-2014. Keanggotaan Tim Kerja Kajian terdiri dari 45 orang perwakilan 10 fraksi/kelompok anggota DPD di MPR.

Kehadiran Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia ini tentu saja  memiliki urgensi, relevansi dan nilai yang sangat strategis, sebagai alat kelengkapan Pimpinan MPR yang bertugas membantu Pimpinan MPR dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya, di tengah dinamisnya kehidupan politik, demokrasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia ini diharapkan akan semakin memperkuat kedudukan lembaga Majelis, sebagai lembaga negara, lembaga demokrasi dan perwakilan yang mengemban tugas mengelola dan menindaklanjuti secara konstitusional aspirasi masyarakat, aspirasi daerah dan dinamika perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dalam seminar tersebut dibuka oleh Rektor Universitas Brawijaya yang diwakili oleh wakil dekan I Dr. M. Ali Safaat SH, MH. Acara tersebut  dihadiri oleh unsur Akademisi PTN maupun PTS se Jawa Timur, DPRD Kota Pasuruan, Pemda Kota Blitar, Pemda Kabupaten Probolinggo, Pemda Kota Probolinggo, Pemda Kota Mojokerto, Pemda Kota Kediri, Pemda Kabupaten Kediri, Pemda Kota Malang, DPRD Kabupaten Tuban, Pemda Kabupaten Sidoarjo, LSM, Praktisi Hukum, Advokat Notaris. Adapun Rumusan Hasil Seminar Nasional antara lain Perjalanan bangsa Indonesia nampaknya masih meninggalkan berbagai problematika kebangsaan yang kian kompleks di tengah pusaran modernisasi dan globalisasi dalam kerangka percaturan politik baik dikancah lokal, regional, nasional, bahkan internasional.

Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh atas lahirnya suatu negara bangsa (nation state) yang telah di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka, bangsa Indonesia harus memiliki dasar pijakan ideologis yang kuat sebagai modal paradigmatik dalam membangun kekuatan bangsa dengan karakteristik masyarakatnya yang majemuk dan multikultural dengan semangat kebhinekaan.

Berdasarkan hasil penyampaian materi, proses diskusi, penyerapan aspirasi sekaligus sebagai respons terhadap kondisi kenegarabangsaan yang makin menuntut kecermatan, segenap komponen kebangsaan maka perlu memberikan kontribusi pemikirannya yang dalam kesempatan kali ini diwadahi oleh suatu seminar yang terselenggara oleh Tim Kerja Sistem Ketatanegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya untuk menggali dan mengkritisi diskursus format sistem perwakilan Indonesia.

Setelah mendengarkan paparan para narasumber, diskusi-diskusi intensif, forum penyerapan aspirasi maka Seminar kali ini membuat simpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Bahwa secara substansi dan proses hasil Amandemen terhadap UUD 1945 telah melahirkan UUD NRI Tahun 1945 secara absah dan legitimate maka harus dilaksanakan secara murni, konsekuen, dan konsisten.
  2. Bahwa secara substansi kajian-kajian akademik yang dibuat oleh Komisi Konstitusi, Kajian MPR-RI, Forum Rektor, Kajian Amandemen DPD RI perlu dijadikan rujukan dalam rangka menggali format ideal sistem perwakilan di Indonesia.
  3. Bahwa kewenangan konstitusional dalam tubuh DPR perlu diperkuat pada konteks fungsi  representasi. Hal ini dimaksudkan mengingat bahwa DPR tidak hanya sebatas fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan. Gagasan ini diadaposi dari berbagai negara lain yang fungsi Lembaga Perwakilannya bertugas dalam hal Representasi, Legislasi dan Pengawasan. Lebih lanjut fungsi Budgeting DPR di Indonesia, merupakan bagian inheren dari fungsi legislasinya. Sehingga aspirasi kedepannya, Lembaga Perwakilan di Indonesia seperti DPR seharusnya lebih menjalankan fungsi representasi.
  4. Bahwa harus diakui bahwa pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR RI menjadi lemah. Oleh karena itu kedudukan MPR RI kedepan perlu diperkuat sebagai contoh dalam hal ihwal pertanggung jawaban Presiden menjadi lemah tatkala MPR tidak berkedudukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
  5. Bahwa, gagasan Empat Pilar Kenegaraan sebagai sebuah term yang dilontarkan oleh MPR RI secara faktual sudah diterima oleh khalayak ramai sedemikian rupa sehingga mempunyai kelayakan sosiolinguistik untuk dipertahankan dan dilanjutkan  pemakaiannya.
  6. Bahwa sistem yang dibentuk berdasarkan produk kesepakatan maka harus ada komitmen ketaatan untuk menjalankannya. Oleh karenanya sistem yang baik harus juga diikuti dengan pengisian sumber daya manusia yang baik pula. Sehingga kompenen sistem, substansi, institusi, dan kultur harus berjalan secara sinergis dan komprehensif.

Bahwa pemahaman dan pembudayaan terhadap empat pilar kebangsaan harus mampu dirasakan oleh segenap komponen warga negara sehingga dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif mampu memberikan pemahaman warga negara terhadap hak-hak konstitusional yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button