Disharmonisasi Perlindungan Hukum Bagi Kelompok Minoritas dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME
Malang, Bertempat diruang pertemuan PPOTODA Universitas Brawijaya Koordinator Advokasi Kebebasan beragama dan Berkaykinan Syahrul Sajidin menjadi narasumber pada kegiatan, “Training Paralegal Tingkat Kabupaten/Kota Untuk Advokasi Isu-Isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” yang diselenggarakan oleh YLBHI dan LBH Surabaya pada tanggal 17-18 Juni 2013. Dalam paparannya Syahrul Sajidin membawakan makalah dengan tema Disharmonisasi Perlindungan Hukum Bagi Kelompok Minoritas dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.
Syahrul mengungkapkan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bingkai kebhinekaan merupakan bagian dari rezim Hak Asasi Manusia yang menjelma menjadi hak konstitusional warga negara yang wajib untuk dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan (2), Pasal 32 (1), Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asai Manusia dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menekankan bahwa setiap warga negara khususnya bagi kelompok penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berhak atas akses dan pelayanan publik yang tidak diskriminatif.
Kendati demikian meskipun Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : 43 Tahun 2009-Nomor : 41 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi secara teoritik dan praktis masih banyak diketemukan diskriminasi pelayanan dan inkonsistensi yuridis di dalam ketentuan sebagaimana dimaksud baik dari sisi bentuk hukum, substansi hukum maupun struktur aparatur birokrasi yang cenderung tumpang tindih dan inkonsisten.
Kedepan diharapkan pemenuhan hak-hak konstitusional bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME perlu didukung dengan adanya aspek legalitas yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa serta kepercayaannya tanpa perlakuan diskriminatif, secara tersurat dan tersirat dijamin oleh aspek legal formal. Bertindak sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut antara lain Asfinawati dari LBH Jakarta. Tim advokasi LBH Surabaya, Kapolres Malang.
Diklat Paralegal sebagaimana dimaksud diikuti secara antusisas dari kalangan Gereja Se Malang, Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Malang, Ahmadiyah, Baha’i serta staff magang PP OTODA yang sedang meneliti kajian psikologi hukum (phsyco legal) untuk mengurai aspek psikologi korban diskriminasi dan intoleransi atas serangkaian kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya di Malang Raya. Secara sambut gayung nampaknya masyarakat maupun kelompok agamawan belum bersepaham mengenai gagasan Hak Asasi Manusia yang memiliki universalitas tata nilai bagi martabat luhur kemanusiaan.
Kecenderungan yang ada politisasi terhadap konsep HAM dalam kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan pada akhirnya menimbulkan disparitas pemahaman antara HAM Barat dan HAM Timur. Dalam pelatihan dimaksud nampaknya perlu dilakukan kesepahaman bahwa konteks HAM dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan dalam domain membela keyakinan individual ataupun kelompok. Akan tetapi lebih mengedepankan hak untuk aman dan damai dalam menjalankan aktifitas maupun ritual peribadatan yang bersifat transenden dan fundamental.
Kedepan penguatan gagasan dimaksud diharapkan mampu membekali paralegal agar secara aktif dapat melakukan advokasi dan pembelaan jikalau menghadapi tindakan intoleransi maupun diskriminasi dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan.