BPJS Kesehatan Jawa Timur Gandeng PPOTODA Gelar Bimtek Peningkatan Kapasitas Relationship Officer Hadapi PHK, Kepailitan, dan Kepatuhan Badan Usaha

BPJS Kesehatan Provinsi Jawa Timur menggandeng Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam penyelenggaraan Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi Relationship Officer (RO) se-Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanakan di Harris Hotel Atrium and Convention Hall, Surabaya, dan menghadirkan dua peneliti PPOTODA, yakni Syahrul Sajidin dan Ria Casmi Arrsa, sebagai narasumber.
Dalam pemaparannya, Syahrul Sajidin menyampaikan bahwa jaminan sosial merupakan fondasi utama dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Ia menegaskan, “Tidak ada kesejahteraan sosial tanpa keadilan sosial, dan tidak ada keadilan sosial tanpa adanya jaminan sosial.” Syahrul juga mengulas isu terkait PHK dan kepailitan badan usaha, khususnya dalam kaitannya dengan pembayaran iuran BPJS Kesehatan.
Merujuk pada Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, upah pekerja merupakan piutang yang didahulukan pembayarannya. Jika iuran BPJS dikategorikan sebagai hak normatif pekerja, maka dapat muncul dasar hukum yang memungkinkan iuran tersebut dikategorikan sebagai piutang preferen. Meski secara umum BPJS berstatus sebagai kreditur konkuren, beberapa yurisprudensi (misalnya Putusan No. 15/Pdt.Sus-Pailit/2022/PN Niaga Jkt Pst) menyatakan bahwa BPJS dapat menjadi kreditur preferen apabila ada ketentuan hukum atau penetapan pengadilan yang memberikan prioritas atas tagihannya.
Syahrul menambahkan bahwa BPJS Kesehatan memiliki ruang untuk melakukan intervensi dalam proses pailit guna melindungi kepentingannya sebagai kreditur. Meskipun tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit, BPJS dapat bertindak apabila mampu membuktikan bahwa ia adalah kreditur dengan piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Intervensi ini bersifat hukum perdata, yang berarti BPJS bertindak dalam rangka melindungi hak tagihannya, bukan sebagai penegak hukum atau otoritas kepailitan.
Pada sesi berikutnya, Ria Casmi Arrsa menyampaikan materi mengenai komunikasi dan strategi negosiasi. Ia menjelaskan bahwa Relationship Officer merupakan ujung tombak BPJS Kesehatan dalam membangun, menjaga, dan mengembangkan hubungan dengan peserta dan badan usaha. Tugas utama RO meliputi menjalin hubungan dengan pemangku kepentingan, sosialisasi program, menangani keluhan, monitoring dan evaluasi, pendampingan kepesertaan, serta pelaporan dan administrasi.
Arrsa juga menyoroti pentingnya pemahaman RO terhadap penerapan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013, yang terdiri dari tiga bentuk sanksi:
- Teguran Tertulis
- Diberikan maksimal dua kali, masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 hari kerja.
- Dikenakan langsung oleh BPJS.
- Denda Administratif
- Diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 hari sejak teguran tertulis kedua berakhir.
- Dikenakan oleh BPJS dan menjadi pendapatan lain Dana Jaminan Sosial.
- Tidak Mendapat Pelayanan Publik Tertentu
- Dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS.
- Dikenakan kepada pemberi kerja yang melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b PP 86/2013.
- Meliputi pembatasan atas perizinan usaha, izin tender proyek, izin mempekerjakan TKA, izin penyedia jasa pekerja/buruh, serta izin mendirikan bangunan (IMB).
Namun demikian, Arrsa mengungkapkan adanya permasalahan dalam praktiknya, yaitu rendahnya nilai denda (sebesar 0,01% dari jumlah iuran) yang justru membuat badan usaha lebih memilih membayar denda dibanding memenuhi kewajiban iuran bagi pekerja. Oleh karena itu, ia menyarankan agar regulasi terkait sanksi administratif ditinjau ulang agar mampu mendorong kepatuhan badan usaha terhadap kewajiban jaminan sosial.